Site icon academicearth.my.id

Mengenal “Seribu” Kedok Premanisme: Dari Pak Ogah hingga Ormas

Seribu

Seribu

Di tengah kehidupan perkotaan Indonesia, istilah “seribu” sering terdengar di jalanan—bukan hanya sebagai nominal uang kecil, tetapi menjadi simbol interaksi sosial yang erat kaitannya dengan praktik pungutan liar. Mulai dari membantu kendaraan berputar hingga menjaga area parkir liar, sejumlah pihak menggunakan berbagai “kedok” untuk meminta uang, dengan modus yang tampak seolah-olah membantu. Fenomena ini telah berakar dalam budaya urban dan menimbulkan konsekuensi sosial yang kompleks, termasuk eksistensi premanisme dalam kehidupan sehari-hari. Artikel ini akan membahas asal-usul, perkembangan, serta berbagai bentuk kedok premanisme yang sering ditemui, dari Pak Ogah hingga organisasi masyarakat (ormas).

Fenomena “Seribu” di Jalanan: Asal Usul dan Perkembangannya

Fenomena “seribu” di jalanan berawal dari kebutuhan spontan masyarakat akan jasa-jasa sederhana yang tidak diatur secara resmi, seperti membantu mobil melintasi persimpangan padat atau mencari lahan parkir. Lambat laun, praktik ini berkembang menjadi kebiasaan di mana pemberi jasa—seringkali disebut Pak Ogah—menawarkan “bantuan” dengan imbalan sukarela, yang kerap berkisar seribu rupiah. Lama-kelamaan, nominal ini menjadi standar tak tertulis dan simbol transaksi informal di ruang publik.

Seiring dengan pertumbuhan kota dan semakin padatnya lalu lintas, peran Pak Ogah dan pelaku pungutan liar lainnya semakin marak. Mereka tidak hanya hadir di persimpangan jalan, tetapi juga di area parkir liar, terminal, bahkan di kawasan pemukiman. Awalnya berawal dari inisiatif individu, praktik ini kemudian berkembang menjadi fenomena massal yang sulit diberantas karena dianggap “membantu” dan sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat urban.

Pemerintah dan aparat penegak hukum telah beberapa kali melakukan penertiban terhadap praktik pungutan liar ini, namun sulit menghapusnya secara tuntas. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan lapangan kerja, ketidakjelasan hukum, dan toleransi sosial yang tinggi terhadap praktik “seribu”. Akibatnya, fenomena ini terus berkembang, bahkan melahirkan bentuk-bentuk baru yang lebih terorganisir, seperti juru parkir liar dan preman berbasis ormas.

Tipe-Tipe Kedok Premanisme: Pak Ogah, Juru Parkir, dan Ormas

Pak Ogah adalah sebutan populer bagi orang-orang yang menawarkan jasa “membantu” kendaraan melintas di jalanan, terutama di persimpangan tanpa lampu lalu lintas atau di area rawan kemacetan. Dengan bermodal peluit dan gestur tangan, mereka mengatur lalu lintas secara informal dan kemudian meminta uang “seribu” sebagai imbalan. Meskipun aksinya sering dianggap membantu, banyak pengendara yang merasa terpaksa memberikan uang tersebut karena tekanan sosial atau rasa tidak enak hati.

Selain Pak Ogah, terdapat pula juru parkir liar yang sering ditemukan di tepi jalan, kawasan pertokoan, hingga area yang sebenarnya bukan lahan parkir resmi. Mereka mengenakan atribut seadanya, seperti rompi atau peluit, dan menawarkan jasa parkir tanpa izin dari otoritas terkait. Praktik ini kerap kali disertai ancaman halus terhadap kendaraan yang tidak membayar, seperti risiko pencurian atau kerusakan, sehingga pengendara merasa “wajib” membayar uang parkir liar walau tidak ada jaminan keamanan.

Bentuk premanisme yang lebih terorganisir muncul dalam wujud organisasi masyarakat (ormas) yang kerap “mengelola” wilayah tertentu. Dengan dalih menjaga keamanan atau ketertiban lingkungan, beberapa ormas melakukan pungutan kepada pelaku usaha, pengendara, bahkan warga sekitar. Pengelolaan keamanan oleh ormas ini sering kali tidak jelas batasannya dan justru menimbulkan rasa tidak aman, sebab penolakan terhadap pungutan mereka dapat berujung pada intimidasi. Inilah wujud kedok premanisme yang makin kompleks dan sulit diberantas.

Fenomena “seribu” dan beragam kedok premanisme di jalanan Indonesia mencerminkan dinamika sosial yang rumit antara kebutuhan ekonomi, ketidakpastian hukum, dan toleransi budaya. Dari Pak Ogah yang sekadar mencari penghasilan harian, hingga ormas yang mengorganisir pungutan dengan struktur lebih rapi, praktik-praktik ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan urban. Untuk mengatasinya, diperlukan solusi komprehensif yang melibatkan penegakan hukum, penyediaan lapangan kerja, serta edukasi masyarakat mengenai hak dan kewajiban di ruang publik.

Awalnya berawal dari inisiatif individu, praktik ini kemudian berkembang menjadi fenomena massal yang sulit diberantas karena dianggap “membantu” dan sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat urban

Exit mobile version